1. Standar Kontrak
Istilah perjanjian baku berasal dari
terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak
merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk
formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak,
terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir
Fuadi adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak
dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate)
dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini
ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan
data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam
klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak
mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau
mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut,
sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Sedangkan menurut Pareto,
suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan seseorang menjadi
lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih buruk, sedangkan
menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien
jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat
keadan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadaan yang
memeperburuk.
Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan
dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap
praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian
baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
1. Pasal
6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
Isi
ketentuan itu adalah sebagai berikut :
-
Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku
diperlukan ditentukan dengan peraturan.
-
Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan
dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng
ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan
Undang-undang.
-
Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan
baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja
mengenai hal itu dalam Berita Negara.
-
Seseorang yang menandatangani atau dengan cara
lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum,
terikat kepada janji itu.
-
Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir
mengetahui atau seharusnya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima
perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
2. Pasal
2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of International
Comercial Contract) :
Prinsip
UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak
pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip
kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah.
Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut:
Apabila
salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka
berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal
2.20 – pasal 2.22.
Syarat-syarat
baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan
secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan
tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan
ini mengatur tentang :
a. Tunduknya
salah satu pihak terhadap kontrak baku
b. Pengertian
kontrak baku.
3. Pasal
2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Suatu
persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak
diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut
secara tegas menerimanya.
Untuk
menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan
bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4. Pasal
2.21 :
dalam
hal timbul suatu pertentangan antara persyaratan - persyaratan standar dan
tidak standar, persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.
5. Pasal
2.22 :
Jika
kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar dan mencapai
kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak
disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan
persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali
suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan
untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan
untuk terikat dengan kontrak tersebut.
6. UU
No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen :
Dengan
telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada
intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan
untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum
pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan
berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian
kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
Macam-macam kontrak
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP tidak secara khusus mengaturnya.
Penggolongan yang umum dikenal ialah penggolongan kedalam kontrak timbal balik
atau kontrak asas beban, dan kontrak sepihak atau kontrak tanpa beban atau kontrak
cuma-cuma.
Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang didalamnya
masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau
sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik, kreditur pada pihak yang satu
maka bagi pihak lainnya adalah sebagai debitur, begitu juga sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian yang mewajibkan pihak yang
satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang lain untuk menerima prestasi.
Contohnya perjanjian pemberian kuasa dengan cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai
cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti cuma-cuma, dan penitipan barang dengan
cuma-cuma.
Arti penting pembedaan tersebut ialah :
Berkaitan dengan aturan resiko, pada perjanjian sepihak resiko ada
pada para kreditur, sedangkan pada perjanjian timbal balik resiko ada pada
debitur, kecuali pada perjanjian jual beli. Berkaitan dengan perjanjian syarat
batal, pada perjanjian timbal balik selalu dipersengketakan.
Jika suatu perjanjian timbal balik saat pernyataan pailit baik
oleh debitur maupun lawan janji tidak dipenuhi seluruh atau sebagian dari
padanya maka lawan janjinya berhak mensomir BHP. Untuk jangka waktu 8 hari
menyatakan apakah mereka mau mempertahankan perjanjian tersebut.
Kontrak menurut namanya dibedakan menjadi dua, yaitu kontrak bernama
atau kontrak nominat, dan kontrak tidak bernama atau kontrak innominat. Dalam
buku III KUHP tercantum bahwa kontrak bernama adalah kontrak jual beli, tukar
menukar, sewa-menyewa, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam,
pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dll. Sementara yang dimaksud
dengan kontrak tidak bernama adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang
dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum tercantum dalam kitab undang-undang
hukum perdata. Yang termasuk dalam kontrak ini misalnya leasing, sewa-beli,
keagenan, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, production
sharing.
Kontrak menurut bentuknya dibedakan menjadi kontrak lisan dan
kontrak tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak yang dibuat secara lisan tanpa
dituangkan kedalam tulisan. Kontrak-kontrak yang terdapat dalam buku III KUHP
dapat dikatakan umumnya merupakan kontrak lisan, kecuali yang disebut dalam
pasal 1682 KUHP yaitu kontrak hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris.
Kontrak
tertulis adalah kontrak yang dituangkan dalam tulisan. Tulisan itu bisa dibuat
oleh para pihak sendiri atau dibuat oleh pejabat, misalnya notaris. Didalam
kontrak tertulis kesepakatan lisan sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320
KUHP, kemudian dituangkan dalam tulisan.
4. Macam-macam Perjanjian
Macam-macam
perjanjian obligator ialah sebagai berikut:
1. Perjanjian
dengan cumua-Cuma dan perjanjian dengan beban.
a. Perjanjian dengan Cuma-Cuma
ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan
kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314
ayat (2) KUHPerdata).
b. Perjanjian dengan beban ialah
suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada
pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
2. Perjanjian
sepihak dan perjanjian timbal balik.
a. Perjanjian sepihak adalah
suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
b. Perjanjian timbal balik ialah suatu
perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3. Perjanjian
konsensuil, formal dan riil.
a. Perjanjian konsensuil ialah
perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang
mengadakan perjanjian tersebut.
b. Perjanjian formil ialah
perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk tertentu, yaitu dengan cara
tertulis.
c. Perjanjian riil ialah suatu
perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
4. Perjanjian
bernama, tidak bernama, dan campuran.
a.Perjanjian bernama ialah suatu
perjanjian dimana UU telah mengaturnya dengan ketentuan-ketentuan khusus yaitu
dalam Bab V sampai bab XIII KUHerdata ditambah titel VIIA.
b. Perjanjian tidak bernama ialah
perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
c. Perjanjian campuran ialah
perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit di kualifikasikan.
5. Syarat Syahnya Perjanjian
Untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat menurut pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Dua
syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai
orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedanngkan dua syarat
yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri
atau obyeknya dari perbuatan hukum yang dilakukan.
Dalam
pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan sebagai orang-orang
yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh di bawah
pengampunan
3. Orang-orang perempuan dalam
hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan pada umumnya semua orang kepada
siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Menurut
kKitab Undang-Undang Hukum Perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk
mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari
suaminya (pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
4. Saat Lahirnya Perjanjian
Menurut azas konsensualitas, suatu pejanjian dilahirkan pada detik
tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal
yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu
persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki
oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya,
meskipun tidak sejurusan tetapi secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu
bertemu satu sama lain.
Karena suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat,
maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya penawaran (offerte). Menurut
ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada
saat dimana pihak yang melakukan penawaran menerima jawaban yang termaksud
dalam surat tersebut, sebab saat itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya
sepakat. Karena perjanjian sudah dilahirkan maka tak daapat lagi ia ditarik
kembali jika tidak seizin pihak lawan.
5. Pembatalan dan Pelaksanakan Suatu
Perjanjian
Pembatalaan
Suatu Perjanjian
Apabila dalam suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka
perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void). Dalam hal yang demikian
maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula
suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu.
Apabila pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai
syarat yang subyktif, maka perjanjian itu bukannya batal demi hukum, tetapi
dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah pihak
yang tidak cakap menurut hukum (yang meminta orang tua atau walinya, ataupun ia
sendiri apabila ia sudah cakap), dan pihak yang memberikan perjanjian atau
menyetujui itu secara tidak bebas.
Dalam
hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perjanjian tidak bebas, yaitu:
1. Paksaan adalah
pemaksaan rohani atau jiwa, jadi bukan paksaan badan atau fisik. Misalnya salah
satu pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu
perjanjian.
2. Kekhilafan atau Kekeliruan terjadi
apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang
diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi
obyek dari perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian
itu.
3. Penipuan terjadi
apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu
atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang cerdik, untuk membujuk pihak
lawannya memberikan perjanjiaannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara
aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Misalnya mobil yang ditawarkan
diganti dulu merknya, nomor mesinnya dipalsu dan lain sebagainya.
Pelaksanaan
Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji
kepada orang lain, atau di mana orang saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu. Menilik macam-macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan itu,
perjanjian-perjanjian dibagi dalam tiga macam yaitu:
1. Perjanjian untuk memberikan
menyerahkan barang
2. Perjanjian untuk bebuat
sesuatu
3. Perjanjian untuk tidak berbuat
sesuatu
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata memberikan sekedar petunjuk, ialah persoalan apakah
suatu perjanjian mungkin dieksekusi (dilaksanakan) secara riil. Petunjuk itu
kita dapatkan dalam pasal-pasal 1240-1241.
Dalam
hal penafsiran perjanjian ini pedoman utama ialah: kata-kata suatu perjanjian
jelas, maka tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan
penafsiran.
Pedoman-pedoman
lain yang penting dalam menafsirkan suatu perjanjian adalah:
1. Jika kata-kata suatu
perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, maka harus dipilihnya
menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu dari pada
memegang teguh arti kata-kata menurut huruf.
2. Jika sesuatu janji dapat
diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya pengertian yang
sedemikian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan daripada memberikan
pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan.
3. Jika kata-kata dapat diberikan
dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan
sifat perjanjian.
4. Apa yang meragukan harus
ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan di negeri atau di tempat di mana
perjanjian telah diadakan.
5. Semua janji harus diartikan dalam
hubungan satu sama lain, tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian
seluruhnya.
6. Jika ada keragu-raguan, maka
suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang elah meminta
diperjanjikannya sesuatu hal dan, untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan
dirinya untuk itu.
Referensi
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar